Artikel

PERANAN SENI KRIYA DALAM MEMBERDAYAKAN EKONOMI RAKYAT UNTUK MENGHADAPI ERA GLOBALISASI

ASMUJO JONO IRIANTO

Sebetulnya jika kita bicara lingkup “seni kriya’ maka belum jelas benar lingkup yang dapat ditunjuk dengan istilah tersebut. Apakah seni kriya merupakan istilah yang memiliki pengertian yang sama dengan seni kerajinan?. Ada kecendrungan untuk mengasumsikan ruang lingkup seni kriya secara hirarkis lebih tinggi dari pada seni kerajinan. Dengan kata lain seni kriya memiliki kualitas lebih dari seni kerajinan, walaupun juga tidak jelas kualitas yang dimaksud dan apa parameternya. Hal ini cukup menarik karena untuk menunjuk kategori kegiatan yang kurang lebih sama, dalam tingkatan sekolah menengah kejuruan ada SMIK, yaitu Sekolah Menengah Industri Kerajinan, sedangkan untuk tingkat pendidikan tinggi seni rupa yang ada adalah Program Pendidikan Seni Kriya. Walaupun pada seminar ini bukan satnya untuk bersibuk dengan persoalan klasifikasi kriya tetapi tidak ada salahnya untuk mulai dengan sedikit kejelasan pengertian istilah dan kategori kriya serta klasifikasi atau sub kategorinya. Hal ini penting untuk dikemukakan dan diperbincangkan, sebab berbicara mengenai kriya bisa menembus batas-batas antara seni rendah (istilah yang sebetulnya kurang menyanangkan untuk terus dipakai) dan seni tinggi. Berbicara kriya berarti bisa bicara mulai dari persolan “produksi” di tingkat grass-root sampai dengan seniman personal yang elitis di kota besar.

Pengertian Kriya
Umumnya istilah kriya saat ini dipergunakan dalam pengertian sama dengan istilah kerajinan. Kecendrungan penggunaan tersebut didasari oleh kenyataan bahwa istilah kerajinan telah mengalami inflasi, seperti populernya istilah “kerajinan tahu tempe”, “kerajinan kerupuk” dan lainnnya. Selain itu istilah kerajinan –dianggap- berkesan inferior, seolah hanya menggantungkan pada kepandaian tangan tanpa melibatkan kemampuan pikiran dan imajinasi, apalagi kreativitas. Istilah kerajinan juga kerap dikaitkan dengan masyarakat kelas bawah pedesaan, jaun dari gengsi kelas atas di perkotaan. Oleh karena itu belakangan ini ada kecendrungan untuk menggantikan istilah kerajinan dengan kriya. Ada semacam pemikiran bahwa istilah kriya lebih tepat untuk menunjukkan pada ruang lingkup produksi yang selama ini disebut “seni kerajiinan” yaitu barang-barang hias atau cindera mata yang dikerjakan sebagian besar dengan tangan secara manual. Dengan kaata lain istilah kriya menunjuk pada barang-barang kerajinan tangan yang memiliki “kulitas artistik” (bernilai hias). Kesimpulannya, jika istilah kriya dianggap tepat untuk menggantikan istilah kerajinan atau seni kerajinan maka dalam pengertian ini istilah kriya hadir dalam lingkup level produksi rakyat keabanyakan atau masuk dalam kategori “seni rendah”
Berseberangan dengan pengertian di atas, pendapat lain percaya bahwa istilah kriya justru berbeda dengan istilah kerajinan, karena istilah kriya lebih tepat ditempatkan pada frame “seni tinggi”. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa dalam pendidikan tinggi seni rupa ada program studi kriya. Selain itu istilah kriya dalam budoya Jawa masa lalu –tempat istilah kriya berasal- menunjuk pada lingkup produksi barang untuk keperluan istana, para pembuatnya masuk dalam kategori empu. Dalam lingkup ini istilah kriya sering mendapat penegasan dengan istilah “seni kriya”. Hal ini sepertinya ingin menunjukkan adanya kadar atau muatan artistik yang dominan dalam kriya.
Apapun pengertian kriya yang jelas hal itu tidak perlu terlampau diperdebatkan dalam kesempatan ini. Apa yang hendak ditunjukkan bahwa spektrum kriya cukup lebar dan hirakis serta bisa disusun pengklasifikasian didalamnya. Ada berbagai istilah yang dapat diturunkan dari istilah kriya seperti “kriya seni”, “seni kriya”,”kriya desain”,”desain kriya”,”kriya logam”,”kriya seni logam”. Sekali lagi, walaupun istilah-istilah tersebut cukup bisa diperdebatkan pengertiannya, tetapi sebaiknya kita tinggalkan saja dahulu persoalan atau kejelasan istilah tersebut. Akan tetapi paling tidak kita bisa mencoba menklarifikasikan kategori kriya ke dalam beberapa sub kategori, berdasarkan kecendrungan penggunaan istilah tersebut. Apa yang menjadi dasar klasifikasi ini adalah kelas objek dalam lingkuap kriya yang disusun berdasarkan beberapa kriteria, seperti tempat, cara, jenis dan skala produksi kriya. Sekaligus dalam setiap kategori dibicarakan potensi, tantangan dan kelemahannya.
A, Kriya Tradisi
Dalam pengertian ini, maka ruang lingkup yang diacu adalah apa yang selama ini disebut “seni kerajinan tradisi”, seperti tenunan, anyaman, batik, keramik, ukiran kayu dan lainnya. Siapun tidak ragu bahwa Indonesia amat kaya akan seni tradisi yang nilainya amat tinggi, baik yang masih berada dalam konteks tradisi maupun yang sudah bertransformasi menyesuaikan dengan budaya modern. Dalam kaitan yang terakhir ini kriya yang berakar dari tradisi menjadi potensi tersedianya lapangan pekerjaan dan penyangga ekponomi bagi masyarakat pedesaan, selain pertanian dan sektor lainnya. Hal ini bisa dijumpai secara mencolok pada daerah-daerah tujuan wisata, Bali misalnya. Kita dapat menjumpai beraneka cindera mata yang kualitasnya baik yang diproduksi di berbagai pelosok daerah di Bali, walaupun akhir-akhir ini ada kekhawatiran bahwa cindera mata Bali mulai kehilangan ciri khas ke-Baliannya.
Jika diamati, sebetulnya potensi pengembangan kriya tradisi masih jauh dari maksimal, khusunya jika dilihat dari niali tambah yang didapat dari para pelakunya. Bahkan ada situasi yang cukup mengkhawatirkan di beberapa daerah mengenai daya hidup kriya tradisi ini. Umumnya daerah-daerah yang jauh dari pusat wisata atau kota besar agak sulit menpertahankan keberadaan kriya tradisinya, hal ini disebabkan permintan untuk barang-barang tersebut sudah semakin menyusut. Sebagamana diketahui bahwa arus produk industri sudah menyusup sampai daerah amat pelosok. Berbagai barang produk industri menawarkan selain kepraktisan juga gengsi bagi pemakainya di pedesaan. Tentunya lebih praktis memakai ember plastik untuk menampung air dari pada gentong keramik yang mudah pecah dan berat. Saat ini sudah banyak yang meninggalkan kendi sebagai tempat air minum dan menggantinya dengan bejana plastik. Ketika pada akhirnya pekerjaan pertanian dan memproduksi barang-barang kriya sudah tidak menjanjikan lagi sebagai mata pencarian, maka pilihan para pemuda desa adalah urbanisasi ke kota besar bekerja sebagai buruh lepas atau pekerja di industri manufaktur.
Untunglah cukup banyak daerah yang memiliki akar kriya tradisi berhasil bertahan dan bahkan muncul sebagai sentra-sentra produk kriya, yang bahkan berkembang pada skala industri. Kriya bisa menunjuk misalnya Jepara, dengan produk mebel ukir kayunya, Pekalongan dengan batik dan tenunannya. Dalam skala yang lebih kecil misalnya seperti sentra keramik Kasongan di kabupaten Bantul atau sentra keramik Plered di Purwakarta. Kita tahu bahwa produk kriya di daerah-daerah tersebut sudah masuk dalam pasar dunia dan mungkain menyumbang devisa cukup lumayan. Sebetulnya cukup banyak daerah lain yang bisa dikembangkan untuk menyamai potensi daerah-darah tersebut. Harus diakui tidak sedikit usaha pemerintah untuk membantu mengembangkan kriya tradisi, sayangnya banyak usaha tersebut yang kandas. Salah satu kendala utama adalah langkanya tenaga ahli di bidang kriya, baik yang menguasai keteknikan kriya, perancangan, pengelolaan produksi, pemasaran, pemahaman atas selera pasar (luar negri) dan lainnya.
Ada sebuah contoh kasus bagaimana sebuah kriya tradisi yang hampir mati bisa dihidupkan kembali bahkan menjadi produk andalan ekspor, yaitu gerabah Lombok. Hal itu bisa terjadi karena keterlibatan tenaga ahli dan tenaga sukarelawan dari Selandia Baru. Berbekal pemahaman pada adanya perubahan selera keramik dari keramik berglasir ke keramik terakota kurang lebih satu stengah dekade yang lalu pada masyarakat Barat, menjadikan mereka memiliki keyakinan bahwa gerabah Lombok dapat dijadikan mendunia. Keyakinan tersebut ditunjang oleh kemampuan perancangan dan teknis keramik. Boleh dikatakan tanpa melakukan perubahan mendasar terhadap teknik dan proses pembuatan (yang masih tradisional) mereka dapat menggairakan kembali produksi gerabah Lombok sebagai barang hias, baik untuk pasar luar maupun dalam negri.
Kasus pengembangan lain yang cukup sukses terjadi didesa Pejaten, Bali. Seorang tenaga ahli keramik dari Belanda berhasil melakukan diversifikasi produksi di desa Pejaten, yang tadinya hanya menghasilkan bata dan genteng kemudian juga menghasilkan produk keramik hias bakaran tinggi. Kedua contoh pengembangan yang cukup berhasil ini menunjukkan jika ditangani secara serius pengembangan kriys tradisi amat membantu dalam memperkuat basis ekonomi di tingkat pedesaan, melalui ketersediaan lapangan pekerjaan yang memberikan nilai ekonomi cukup tinggi.
Harus diakui langkanya tenaga kriya menghambat pengembangan kriya tradisi. Bagaimanpun dunia terus berubah, artinya untuk tetap bertahan kriya tradisi juga harus disesuaikan dengan perkembangan jaman. Minimnya tenaga ahli dari Indonesia sendiri, keahlian di bidang kriya, pemahaman terhadap selera pasar Internasional, mereka dengan leluasa mempergunakan para artisan (kriyawan tradisional) untuk melakukan produksi di workshop-workshop yang mereka bangun di Indonesia. hal itu dengan mudah dijumpai di Bali atau di Jepara. Tentu saja merekalah yang terutama menikmati nilai tambahnya, bukan para artisan tersebut.
Langkanya tenaga ahli di bidang kriya berakar dari langkanya pendidikan kriya. Kalaupun ada beberapa perguruan tinggi seni rupa yang memiliki program studi kriya, maka keadaannya amat menyedihkan dengan fasilitas yang boleh dikatakan seadanya, belum lagi arahan kurikulumnya yang tidak jelas. Selain itul kita tidak memiliki politeknik kriya atau seni yang menghasilkan tenaga ahli yang menguasai material seperti keramik, gelas, tekstil, kayu, logam, rotan, bambu dan lainnya, serta memiliki kemampuan perancangan. Padahal banyak daerah-daerah yang memiliki kekayaan kriya tradisi menunggu uluran tangan para ekspert kriya untuk dapat mengembangkan potensi kriya tradisi.

B, Kriya industri

Kriya industri adalah kelas objek kriya yang produksinya dilakukan secara massal, tentunya yang dimaksud massal di sini berbeda dengan massal dalam produk manufaktur dalam industri besar. Jika sebuah tempat produksi kriya memiliki tenaga kerja diatas 50 pekerja sebetulnya sudah dapat dikatakan merupakan industri kriya (tidak ada skala yang pasti untuk dapat menunjuk batasan industri kriya). Industri kriya dapat merupakan bentuk transformasi dari produksi kriya tradisi atau merupakan industri kriya yang dibangun sama sekali baru tanpa terkait dengan tradisi. Walaupun begitu bisa saja yang terakhir ini juga menghasilkan produk yang berciri tradisi.
Apa yang disebut sebelumnya pada bagian kriya tradisi, yaitu workshop-workshop yang dibangun oleh para pengusaha (baik lokal maupun asing) bisa dimasukkan dalam kategori industri kriya. Sebagai contoh bisa ditunjuk sebuah industri keramik di Sanur Bali, yang dikelola bersama antara pengusaha Indonesia dengan seorang ahli keramik dari Selandia Baru. Produk yang dihasilkan berupa alat makan minum dan alat saji keramik yang dikerjakan dengan cara manual. Hampir kebanyakan hotel-hotel berbintang dan restoran di Bali menggunakan keramik yang dihasilkan industri kriya bersangkutan. Hotel dan resort berbintang dengan jumlah ruang terbatas biasanya membutuhkan alat makan minum dalam jumlah tidak terlampau banyak tetapi eksklusif, umumnya mereka menghindari alat makan minum dan saji buatan industri manufakatur karena tidak memiliki kesan ekskluosif dan natural. Harga jual yang dipasang sebetulnya cukup tinggi, dengan kata lain margin profit yang didapat cukup tinggi. Tetapi pesanan terus mengalir tanpa berhenti, bahkan dari hotel-hotel di luar negeri, karena memang boleh dikatakan sampai saat ini di Bali mereka tidak memiliki saingan yang cukup berarti.
Keberadan industri kriya amat menolong menciptakan lapangan kerja, sayangnya cukup banyak kesulitan ulntuk mengembangkan industri kriya, khususnya produk yang ditargetkan adalah produk kriya baru yang tidak berbasis kriya tradisi. Dalam kaitan ini cukup sulit mencari tenaga kerja siap pakai, sehingga diperlukan masa training cukup lama. Ada satu contoh kasus hal ini, yaitu sebuah usaha industri kriya berbasis di Bandung tetapi memiliki beberapa workshop di tempat lain, yaitu PT Pradika yang menghasilkan “zolo” yaitu sebuah produk inovatif semacam mainan anak terbuat dari kayu yang diproduksi secara manual. Zolo dirancang oleh disainer Amerika, dan sebeluom akhirnya diproduksi di Indonesia, telah dicoba untuk kemungkinan produksi di negara Asia Tenggara lainnya, tetapi akhirnya pilihan jatuh di Indonesia. Tetapi hal itu tercapai melalui usaha cukup keras untuk melatih para artisan agar menguasai teknik memproduksi zolo.
 Dalam industri kriya proses dan peranan perancang cukup penting (dalam kaitan ini muncul istilah kriya disain atau disain kriya), sebab seluruh meknisme produksi (seperti pembagian kerja) amat ditentukan oleh rancangan. Disamping itu kualitas artistik juga ditentukan oleh rancangan, artinya proses perancangan juga menentukan berhasil tidaknya produk tersebut di pasar. Prosaes perancangan produk kriya yang baik akan terjadi jika si perancang (disainer) juga memahami dan  menguasasi teknin pengerjaan material bersangkutan dan tentunya memahami trend pasar di samping sifat-sifat kreatif dan inovatif yang harus dimiliki. Sayangnya jenis ahli seperti ini amat sulit ditemukan di Indonesia, seperti juga yang telah dikemukakan hampir tidak ada pendidikan dalam level akademi yang khusus menghasilkan perancang produk kriya yang berkemampuan tinggi seperti disebut di atas.
Selain kriya industri seperti yang dipaparkan di atas (dalam skala cukup besar) ada pula kriya industri dalam skala kecil, yaitu kriya industri yang di produksi oleh industri rumah tangga. Sebagai contoh di Bandung, misalnya produksi kriya keramik di daerah Kiara Condong yang banyak meniru keramik Cina. Produksinya dilakukan di rumah-rumah yang sekaligus berfungsi sebagai tempat produksi. Umumnya produksi rumah yang satu dengan yang lain. Adakalanya produk kriya tradisi yang produksinya berbasis pada tenaga kerja keluarga, juga dimasukkan sebagai industri kriya rumah tangga.

C, Kriya Seni

Seperti telah disebut sebelumnya bahwa kriya juga bisa masuk frame seni tinggi, yaitu yang didistilahkan dengan kriya seni. secara sederhana kriya seni berarti kepandaian kriya (craftmanship) yang arahnya ditujukan untuk ekspresi pribadi serta menghasilkan karya-karya satuan (bukan massal). Tetapi umumnya ekspresi pribadi yang dimaksud masih sebatas ekspresi keidahan untuk menghasilkan karya-karya artistik yang bersifat individual. Karena itu umumnya karya kriya seni membawa ciri khas pembuatnya. Mungkin contoh paling mudah diketengahkan sebagai wakil karya kriya seni adalah karya lukisan kaca Eddy Noor. Karya-kaarya tersebut hanya bisa dihasilkan karena pembuatnya telah menguasai teknik pengerjaan lukisan kaca secara piawai. Karya-karya tersebut juga merupakan ekspresi artistik personal dari pembuatnya.
Karya-karya kriya seni umumnya dikerjakan dalam workshop-workshop yang berskala kecil atau biasa disebut studio atau lazim disebut home studio. Sebab yang lebih dipentingkan adalah kualitas artistik dari pada kuantitas yang dihasikan. Umumnya karya-karya kriya seni sampai di tangan peminatnya seperti mekanisme distribusi seni, artinya melalui pameran-pameran di galeri-galeri seni ataupun tempat lain yang cukup representatif.
Berbicara mengenai nilai tambah, maka kriya seni merupakan produk kriya yang nilai tambahnya paling tinggi, sebab diperhitungkan sebagai barang seni yang tentunya memiliki posisi tawar harga yang cukup tinggi. Ada satu kelebihan dari kriya seni dibandingkan cara “produksi” karya seni murni, misalnya lukisan yang sepenuhnya ditangani sendiri oleh pelukisnya. Tetapi umumnya studio kriya seni memiliki beberapa pekerja untuk membantu produksi krya kriya seni. hal itu bisa diihat misalnya di studio-studio kriya seni, salah satu contoh misalnya di home studio tekstil Biranul Anas, kita dapat menjumpai beberapa artisan yang tekun memmbantu Biranul Anas menyelesaikan karya kriya seni tekstilnya.
Sebetulnya minat terhadap kriya seni lular biasa, sejauh kualitas yang dihasilkan memang mengesankan. Karya-karrya taperstri Biranul Anas tidak pernah sempat tergantung di rumah atau studionya karena segera berpindah tangan ke kolektornya begitu selesai dibuat. Demikian pula karya-karya keramik F. Widayanto terus dicari dan amata populer dilingkungan selebriti Jakarta. Sayangnya sampai saat ini jumlah seniman kriya masih amat minim, padahal lewat tangan merekalah kita bisa mendapatkan karya-karya kriya seni yang berkualitas. Selain itu kehadiran mereka juga menciptakan lapangan pekerjaan. Kalau bisa dikirim ke galeri-galeri craft di Barat, maka karya kriya seni menyumbangkan nilai tambah paling tinggi dibandingkan jenis produk kriya dari slub kategori lain. Kehadiran seniman krya yang hanya sedikit juga kurang memicu kreativitas dan inovasi para seniman kriya. Jumlah yang minim produk hasil seniman kriya –sedangkan permintaan banyak- menyebabkan masuknya produk-produk kriya seni dari luar, seperti yang ditunjukkan oleh pemeran karya-karya porselen seniman Cina atau karya-karya kriya seni gelas dari Eropa Timur yang –sebelum krisis moneter- banyak dipamerkan di hotel-hoteal berbintang.
Langkanya seniman kriya juga berpangkal dari perguruan tinggi yang sepertinya tidak melihat potensi seni kriya. Di plau Jawa saja hanya ada 3 perguruan tinggi seni yang sudah memiliki porogram studi kriya seni, yaitu ISI Yogyakarta, IKJ Jakarta dan UNS Solo (katanya seni rupa ITB juga akan melasir program studi kria) itupun dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Bayangkan hanya ada 3 buah pendidikan kriya seni untuk penduduk yang jumlahnya lebih dari 100 juta di pulau Jawa, sungguh tidak masuk akal. Hal ini seperti semacam petunjuk bahwa kita memang tidak serius membangkitkan potensi kriya yang dimiliki bangsa Indonesia, yang sebetulnya amat kaya.

Pengembangan Produksi Kriya Sebagai Salah Satu Usaha Memberdayakan Ekonomi Rakyat

Dari apa yang diuraikan jelas kiranya bahwa kita memiliki potensi yang luar biasa di bidang kriya, baik itu sumber kekayaan budaya, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Walaupun harus diakui bahwa di bidang sumber daya manusia yang kita miliki sebagai potensi baru ketersediaan artisan- yaitu para artisan berbasiskan kepandaian kriya tradisi- tetapi amat langka ekspert kriya lulusan pendidikan tinggi. Padahal keberadaan para sarjana kriya seni dapat membantu pengembangan potensi kriya, baik kriya tradisi, kriya industri maupun kriya seni. kita faham bahwa infrastruktur untuk produksi kriya masih lemah di Indonesia, untuk itu diperlukan para ahli kriya yang bisa menyiasati hal tersebut.
Berbicara pasar (khususnya pasar Internasional) untuk produk kriya amatlah menjanjikan. Di dnia Internasional, khususnya Barat ada perubahan paradigma dalam pemenuhan kebutuhan barang rumah tangga, baik barang fungsional maupunn barang hias. Jika sebelumnya produksi manufaktur yang memonopoli produksi barang-barang tersebut, sekarang keberadaannya disaingi barang-barang produk manual hasil studio_studio kriya yang mulai menjamur di Bbarat. Walauppun harga barang-barang produksi manual yang dikerjakan di studio_studio atau workshop-workshop lebih mahal tetapi saaekarang lebih diminati. Pertama-tama jumlah produksinya amat terbatas menyebabkan barang yang diproduksi menjadi amat ekskl’usif, disamping itu barang-barang tersebut dianggap lebih natural karena dikerjakan dengan tangan selain dianggap lebih ramah lingkungan. Hal itu amat berbeda dengan barang hasil produk massal yang berkesan seragam dan dingin. Jika disimak di majalah-majalah innterior, dari Australia misalnya, selalu ada artikel mengenai dibukanya toko eksklusif baru yang menydiakan barang-barang rumah tangga dan cindera mata tapi dalam jumlah linmited edition (trend yang sama juga mulai ditunjukkan oleh butik-butik barang rumah tangga dan cindera mata di daerah Kemang, Jakarta). Jika saja cukup tanggap maka apa yang diutarakan merupakan peluang pasar yang luar biasa bagi produk kria Indonesia. Belum lagi jika kita bicara mengenai galeri-galeri craft-art di Barat.
Dalam kondisi ekonomi seperti ini lingkup produk kriya amat potensial ikut menyumbang mengatasi permasalahan ekonomi. Sebab produksi kriya adalah produksi padat karya yang selalu menyediakan lapangan pekerjaan lebih banyak dari pada industri manufaktur. Selain itu industri kriya tidak membutuhkan mesin-mesin raksasa yang harus diimpor dan menghabiskan devisa. Produksi krya sebagian besar banan bakunya diadakan dari dalam negri, sehingga menghemat devisa. Kapital untuk mengembangkan industri kriya relatif lebih kecil dibandingkan industri manufaktur. Pengambanan kriya, khusunya kriya tradisi juga bisa mencegah arus urbanisasi, dengan menciptakan lapangan pekerjaan di desa. Masih banyak sekali keuntungan yang didapat dari potensi pengembangan produk kriya, baik kriya tradisi, kriya industri maupun kriya seni. sebetulnya hal itu merupakan hal yang amat mungkin sejauh ada usaha keras pihk-pihak terkait.







Religiositas dalam karya seni
Curahan Ridha Allah, Karya Seni yang Indah
Proff. Yusuf Affendi
Beberapa kata kunci dalam makalah ini, antara lain : Seni rupa tradisional, seni kriya dan desain artistik. Istilah seni rupa tradisional muncul tahun 1989, pada waktu mempersiapkan Festifal Istiqlal 1995.
Nusantara Indonesia mempunyai banyak peninggalan seni-seni Islam yang bertebaran di berbagai pelosok tanah air. Seni lama itu, terutama terdapat dari sumber utamanya, yaitu lingkungan masjid dan berbagai keraton atau kerajaan Islam di Indonesia.
Aneka ragam seni itu dapat digolongkan pada seni kerajinan atau seni kriya, tetapi beberapa diantaranya memiliki nilai seni lukis atau seni dua dimensi, seni ukiran memiliki sifat seni tiga dimensi yang sulit dicari bandingannya. Berdasarkan unsur-unsur sejarah, teknologi, sosiologi,, archeologi, anthropologi, manfaat kegunaan, selain segi artistiknya, maka ia disebut sebagai seni rupa tradisional.
Istilah seni kriya muncul sebagai padanan dari istilah lama seni kerajinan. Seni kriya menggantikan sebutan asing yang dikenal dengan art and craft, sedang seni kerajinan lebih dekat pada handicraft yang ada kaitannya dengan hobbi. Sedang apa yang dimaksud dengan seni kriya bukan sekedar hobi, melainkan lebih luas wawasannya dan lebih dalam pengertiannya.
Di dalam gubahan seni kriya, selain terdapat unsur atau sentuhan seni, terkandung pula unsur desain, yaitu kandungan seni pakainya. Sebagian ahli seni rupa, menggolongkannya ke dalam applied art atau seni terpakai yang dikenal sekitar tahun 1960-an. Kandungan seni dan desain sama-sama terdapat dalam gubahan kriya masa kini, bahkan sudah bergeser lebih jauh dalam prosesnya, dalam segi produksinya sudah dapat digolongkan ke dalam industri, karena memakai unsur keindustrian.
Ragam hias atau ornamen Islam, selalu mementingkan tata tertib pemakaian bahan logam, kayu, marmer dan sebagainya. Kemudian ungkapan ragam hias itu diperkuat oleh kemahiran dalam pengolahan atau craftmanship, terdapat bahan yang bersangkutan, karena setiap bahan memerlukan proses tersendiri. Bagian akhir adalah pegisisan ciri tersendiri. Sehingga dapat dibedakan ragam hias di suatu kawasan yang lainnya atau dapat dibedakan antara seniman yang satu dengan yang lainnnya. Ciri tersendiri dari ragam hias biasanya diungkapkan dalam bentuk garis, tata warna, bidang pada ruang terpadu, harmonis dengan tata tertib pemakaian bahan. Seperti dapat diperhatikan pada karya ukir kayu, ukiran logam kuningan atau tembaga dan batu marmer, hingga seni kaca patri.
Ragam hias yang memenuhi seluruh permukaan atau bidang Zukruf. Dekorasi estetis dari Zukruf, terletak pada pengisian berbagai ornamen pada suatu bidang datar, lingkaran, melengkung bulat telur maupun yang bersudut banyak dalam gubahan desain dua maupun tiga dimensi.
Sementara, kritikan datang dari pakar seni rupa Barat yang mengatakan, bahwa penutupan bidang-bidang oleh ragam hias menandakan kelemahan dalam komosisi atau desain. Di sisilah dasar perbedaan estetika Barat dengan estetika yang Islami.
Zukhruf tidak digarap untuk menjadi unsur penambah atau pelengkap terciptanya suaatu karya seni, tidak pula merupalkan penghias yang asal jadi, melainkan direncanakan sejak awal suatu desain atau karya seni rupa itu dirancang. Zukhruf harus menyatu dalam bentuk berdasarkan variasi perhitungan matematik.
Selanjutnya, zukhruf itu jauh dari maksud hanya untuk menyenangkan atu mencari selera kepuasan dari penanggap. Zukhruf bukan merupakan suatu cara melarikan diri atau menghidar dari kekosonagan (emptiness). Yang diisi oleh zukhruf merupakan kekosogan baru yang tercipta. Kaidah estetika Barat menagtakan : kekosongan yang kosong, dalam filsafat zukhruf dikenal:
Kekosongan yang terisi menjadi kosong
Adanya kekosongan, karana hadirnya Ada (isi)
Adanya isi menentukan hadirnya kekosongan
Adanya sama dengan Tiada. Tiada sama dengan  Ada
Kulminasinya adalah tauhid dalam keruangan yang lapang (software, structure) dan keruangan yang sempit (hardware, function). Di Indonesia, filsafat zukhruf diterapkan pada seni kriya, seperti: batik, ukiran kayu, songket, tenun ikat, ketok logam dan berbagai hiasan busana Muslimah, rumah-rumah tradisional serta mesjid.
Peresapan nafas Islami ke dalam karya-karya tradisional nusantara menyebar dalam keragaman yang mengagumkan. Yang tampak, terutama terungkap dalam berbagai cabang kesenian, seperti sastra karawitan/musik, tari, teater, seni rupa/kriya, seni menulis indah/kaligrafi dan seni hias Al-Quran serta arsitektur mesjid maupan bangunan pada umumnya.
Persesapan nafas Islami yang kwalitatif yang dapat dianggap ; halus terdapat pada wayang golek. Bentuk wayang yang sama sekali meenyerupai manusia sering ditaffsirkan oleh para pakar budaya sebagai hasil penyesuaian etnik ini pada nafas yang Islami, yaitu yang melarang penggambaran manusia, dan makhluk hidup lainnya.
Nilai atau kadar peresapan nafas Islami yang masih kasar menurut pakar budaya Saini M., terdapat pada kesenian angklung Gubrag di Jawa Barat. Antara unsur yang Islami dengan unsur etnik masih belum luruh. Kesenian Angklung Gubrag erat hubungannya dengan kepercayaan lama, yaitu pemujaan pada padi sebagai Dewi Sri atau Nyi Pohaci Sang Hiang Sri. Pada waktu padi tumbuh menguning maupun dalam upacara sehabis panen, yaitu yang biasa disebut upacara Seren Taun, alat musik angklung memegang peran yang sangat penting. Angklung tersebut dalam upacara di transformasikan ke dalam ujud yang hampir tidak berubah. Kecuali lagu-lagunya diganti olah Bahasa Arab yang berisi puja-puji kepada Allah YME beserta Nabi-nabinya.
Sejumlah karya seni kriya yang biasa digunakan didalam dan sekitar rumah serta untuk keperluan mempertahankan diri telah menyatu dalam nafas Islami. Seperti desain-desain yang indah dari tosanaji, sulaman tangan, kain batik dan songket, rehal berukir, peti-peti untuk penyimpanan kain dan dokumen-dokumen tertulis dan masih banyak lagi. Sedang untuk keperlun beribadat tercipta wadah gentong untuk air wudhu yang biasa disebut “wadasan”, yang terbuat dari keramik lunak atau gerabah.. hingga kini wdasan itu masih dibuat dan digunakan di daerah Cirebon dan Indramayu. Berbagai ukiran hiasan stilasi dari bunga sulur-suluran dari bahan kayu yang melengkapi lafad-lafad terterap diruangan dalam mesjid. Pintu, tiang-tiang, jendela sebagian dihiasi kaca patri, ventilasi tidak terbebas dari hiasan-hiasan yang penuh suara guman dzikir itu.
Kemudian, pada setiap mesjid agung atau pesantren biasanya memiliki Mushaf Al-Quran yang ditulis tangan dengan nilai estetis yang tersendiri.
Apabila diperhatikan, seni mushaf Al-quran di nusantara hampir terdapat disetiap wilayah, mulai dari Sumatra, Jawa, Madura sampai Lombok serta Kalimantan, Sulawesi sampai ke Tidore dan Ternate. Agaknya boleh diperkirakan, bahwa seni mushaf telah mulai dan berkembang sejak 500 tahun yang lalu.
Alfin Toffler, ketika berkunjung ke festival Istiqlal 1991 pada waktu itu, yang diperhatikannya adalah penulisan buku-buku Islam termasuk Al-Quran, karena dengan adanya penulisan (mushaf) itu di nusantara sudah tercipta suaatu sistem akademik/intelektual yang nilainya tinggi, yaitu sekitar tahun 1830.
Pada umumnya, mushaf Al-Quran itu ditulis dan dihiasi sendiri oleh ulama terkemuka di daerahnya, melalui perencanaan dan ketekunan yang mengagumkan dalam jumlah lebih kurang 660 halaman seluruh isi Al-Quran . Halaman terindah ornaman terpusat pada halaman pertama Al-Fatihah dan ayat awal dari Al-Baqarah. Kebanyakan warna yang digunakan terdiri dari warna coklat tua dan warna merah atau emas untuk khatnya, sedang ornamennya diselesaikan dengan warna coklat, biru tua, merah dan kuning emas. Yang mengherankan warna-warna itu tidak luntur atau menua, kecuali kertasnya berubah jadi abu-abu oker. Apabila diperhatikan dapat kiranya disimpulkan pemakaian kwalitas tinta dari satu daerah lainnya sama, artinya antara satu mesjid/pesantren dengan mesjid dan pesantren lainnya telah ada kesepakatan teknis penulisan Al-Quran, termasuk pemakaian kerta serta penjilidannya.
Ethos Kerja Muslim, Nilai Estetis Yang Tinggi
Pada umumnya di daerah manapun di Nusantara ini, seni kriya tradisional itu selalu memiliki nilai estetis yang tinggi dengan nuansa keagamaan. Dari mulai pekerjaan atau hasil tenunan songket dan ikat hingga ukiran kayu yang rumit, demikian juga dari perhiasan emas perak, kuningan hingga pembuatan keris, tombak, badik dan sebagainya, mempunyai nilai tinggi dalam segi fungsi maupun keindahannya. Hal itu menandakan pengerjaan yang sangat tekun, tidak hanya trampil melainkan memenihi persyaratan unsur-unsur keindahan. sehingga benda kriya itu memililki daya tahan yang lama. Benda kriya yang indah itu tidak mungkin dihasilkan tanpa ethos kerja yang tinggi. Karena Islam telah mengerjakan, bahwa perbuatan seseorang dinilai dari pangkal niatnya. Sedang mutu pekerjaan ditentukan oleh tingkat pengetahuoan dan ketrampilan serta sikap seseorang dinilai dari pangkal niatnya. Sedang mutu pekerjaan ditentukan oleh tingkat pengetahuan dan ketramopilan seseorang, seperti halnya jaminan Allah terhadap orang-orang yang memiliki ilmu “Akan ditingkatkan derajat kemampuannya lebih tinggi dari yang lain”.
Karena Islam menganjurkan berlomba dalam kebaikan dan bekerja meraih mutu yang setinggi-tingginya.

Tidak ada komentar: